Para
pendiri bangsa ini sudah lebih dulu menganut paham akan keberagaman.
Pancasila sebagai dasar dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan
mengawali lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Kita
ditakdirkan lahir di bangsa yang dapat menerima dan menghargai
perbedaan. Ditakdirkan tumbuh dan dewasa dengan perbedaan itu sendiri.
Sehingga perbedaan pun turut andil dalam membangun karakter kita sebagai
sebuah bangsa.
Tetapi
tidak dapat dipungkiri, keberagaman menjadikan Indonesia sangat rentan
dihadapkan dengan potensi konflik yang lahir dari isu Suku, Agama dan
Ras (SARA). Keberagaman berkembang seiring peradaban. Perbedaan yang
lahir dari keberagaman bertumbuh semakin dewasa tetapi tidak dengan
bangsa Indonesia. Sehingga keduanya tidak dapat berjalan beriring dan
konflik sebagai akibat dari keberagaman pun tak dapat dihindari.
Konflik
yang bersinggungan dengan SARA hanya dapat dihindari jika sudah
terdapat kesadaran. Kesadaran bahwa bukan hanya ada ras, etnik, suku dan
agama yang sama seperti kita di Indonesia. Kesadaran bahwa setiap orang
dijamin kebebasannya oleh negara untuk menjalankan apa yang diyakini.
Kesadaran bahwa kebebasan Individual dibatasi oleh kebebasan orang dan
komunitas lain. Kesadaran yang dimulai dari pribadi, dibawa ke dalam
keluarga lalu komunitas yang lebih besar hingga akhirnya kesadaran
bangsa akan keberagaman pun meningkat.
Interfaith Youth Forum
Kesadaran
dibarengi dengan rasa saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang.
Seperti yang sering diucapkan orang – orang sebelum memulai perkenalan.
Saling mengenal untuk mengurangi peluang lahirnya prasangka terhadap
orang lain.
Interfaith
Youth Forum (IYF) atau Forum Anak Muda Antar Keyakinan adalah wadah
bagi para generasi penerus bangsa untuk saling mengenal dan menciptakan
pemahaman yang lebih baik antar keyakinan. Seperti motto IYF 2012 ‘Better Understanding through Interfaith Dialogue’.
IYF pertama kalinya diadakan di Indonesia, digagas oleh enam mahasiswa lulusan program Study of U.S Institute (SUSI) for Student Leaders on Religious Pluralism Winter Program 2012 di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat.
Peserta
IYF tahun ini dibatasi hanya untuk 37 anak muda, mahasiswa dari
berbagai universitas di Indonesia yang diseleksi melalui formulir juga
esai. Peserta IYF 2012 telah berkumpul di Wisma Pertamina di Kenten,
Sumatera Selatan pada tanggal 28 September malam untuk perkenalan dan
pembukaan forum. Forum dibuka dan dihadiri oleh Meliani Murti E.
Ningsih, MA dan Rebecca Mays, PhD dari Dialogue Institute, USA juga Mr.
James Poon, dari Global Peace Festival Malaysia.
Materi pembuka forum disampaikan oleh Meliani Murti E. Ningsih, MA, seorang Indonesia yang kini bekerja sebagai dosen di Temple University.
Mbak Yeni begitu Meliani akrab disapa peserta IYF, memberi materi awal
berupa pengetahuan dan hal – hal mengenai Toleransi dan Pluralisme.
Sangat menarik, sehingga banyak sekali pertanyaan dari peserta IYF. Hari
pertama forum akhirnya harus rela ditutup dengan kekecewaan banyak
peserta yang tidak berkesempatan untuk bertanya.
Hari
kedua forum dilanjutkan dengan materi pengenalan dari agama – agama di
Indonesia oleh para pemuka agama. Ust. Muhyidin (Islam), Pdt. Lulus
Ananto (Protestan), Pastor Blasius baskoto (Khatolik), I Made Gede
Armana (Hindu), Grivirya Sulaiman (Buddha). Setiap perwakilan pemuka
agama hadir untuk berbagi paham tentang keyakinan mereka. Menjawab
setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta sekaligus memberi
penjelasan terhadap pandangan - pandangan negatif yang masih ada di
masyarakat.
Usai makan siang, materi mengenai ‘Religions in US’
disampaikan oleh Gugun Gumilar, seorang muda lulusan SUSI tahun pertama
yang membagi pengalamannya selama berada di Amerika Serikat. Setelah
Gugun, tibalah giliran Rebecca Mays, PhD untuk memberi materi,
menambahkan apa yang telah disampaikan Gugun. Seperti halnya Meliani,
Rebecca juga seorang tenaga ahli pengajar di Temple University, hanya saja Rebecca lebih senior, dia telah mendedikasikan hidupnya selama 30 tahun sebagai seorang pengajar.
Diskusi dengan Rebecca menjadi sangat menarik mengingat film Innocence of Muslims
masih hangat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia. Pertanyaan
seputar film kontroversial itu pun tak dapat dihindari. Rebecca dengan
sabar mendengar, mencoba mengerti makna dari setiap pertanyaan yang
dilontarkan karena tak jarang pelafalan bahasa mengaburkan pengertian di
dalam diskusi dengan Rebecca. Dan James Poon, dari Global Peace
Festival Malaysia menutup hari kedua forum dengan memberi materi berupa
manfaat Toleransi dan Pluralisme.
Dalam
forum, peserta saling memberi waktu untuk berbicara dan mendengar. Sama
sekali tidak terjadi ketegangan meskipun pertanyaan yang dilontarkan
kerap berupa permintaan konfirmasi atas pernyataan – pernyataan sumbang
yang ada di masyarakat. Bahkan saat itu waktu terasa terlalu membatasi
peserta untuk bertanya. Jeda istirahat pun dihabiskan untuk berdiskusi
dengan para pemateri, bahkan beberapa dari para pemuka agama, tertunda
pulang karena harus memuaskan rasa keingintahuan peserta.
Hari
terakhir forum diisi dengan kunjungan ke beberapa tempat ibadah yang
mewakili setiap agama yang dianut peserta. Pura Penataran Agung
Sriwijaya, Pondok Pesantren Ar-Rahman, Vihara Dharma Kirti, Gereja HKBP
Yapon dan Gereja Khatolik Santo Yoseph Palembang. Di setiap tempat
ibadah, peserta kembali berdiskusi dengan para pemuka agama, dari tempat
ibadah yang bersangkutan. Membalas ketidakpuasan peserta akan waktu
yang terbatas di hari kedua forum.
Di
Pondok Pesantren Ar-Rahman, peserta berkumpul bersama anak – anak
pesantren di sana untuk mendengarkan penjelasan dari ustad setempat. Di
kesempatan kali ini, Rebecca ditemani Melanie memberi kata sambutan
sekaligus meminta ijin untuk kembali ke Amerika.
“Terima kasih atas penerimaannya. Silahkan juga datang ke Amerika.” ucap Rebecca mengakhiri sambutannya.
Rebecca
yang berkali – kali memuji nilai keberagaman yang dimiliki Indonesia,
hari itu benar – benar dibuat tersentuh dengan perlakuan anak – anak
pesantren Ar-Rahman. Dia tak kuasa menitikkan air mata ketika dikerubuni
untuk disalam oleh anak – anak pesantren.
3
hari, 37 anak muda, Indonesia versi kecil berkumpul. Dari Aceh sampai
Flores. Islam, Protestan, Khatolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Mewakili
anak muda yang mau mendengar, berbagi dan membuka pikiran atas
keyakinan orang lain. Mengikis perbedaan, menjadikannya alat pemersatu
bukan lagi pemicu konflik. Masih ada anak muda tentu masih ada harapan.
Percaya!
*ditulis untuk website UKM Parmagz, www.kampusparmad.com tanggal 1 Oktober 2012*
No comments:
Post a Comment