Tuesday, October 23, 2012

Anak Muda Mengikis Perbedaan melalui Forum Antar Keyakinan

Para pendiri bangsa ini sudah lebih dulu menganut paham akan keberagaman. Pancasila sebagai dasar dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan mengawali lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Kita ditakdirkan lahir di bangsa yang dapat menerima dan menghargai perbedaan. Ditakdirkan tumbuh dan dewasa dengan perbedaan itu sendiri. Sehingga perbedaan pun turut andil dalam membangun karakter kita sebagai sebuah bangsa.

Tetapi tidak dapat dipungkiri, keberagaman menjadikan Indonesia sangat rentan dihadapkan dengan potensi konflik yang lahir dari isu Suku, Agama dan Ras (SARA). Keberagaman berkembang seiring peradaban. Perbedaan yang lahir dari keberagaman bertumbuh semakin dewasa tetapi tidak dengan bangsa Indonesia. Sehingga keduanya tidak dapat berjalan beriring dan konflik sebagai akibat dari keberagaman pun tak dapat dihindari.

Konflik yang bersinggungan dengan SARA hanya dapat dihindari jika sudah terdapat kesadaran. Kesadaran bahwa bukan hanya ada ras, etnik, suku dan agama yang sama seperti kita di Indonesia. Kesadaran bahwa setiap orang dijamin kebebasannya oleh negara untuk menjalankan apa yang diyakini. Kesadaran bahwa kebebasan Individual dibatasi oleh kebebasan orang dan komunitas lain. Kesadaran yang dimulai dari pribadi, dibawa ke dalam keluarga lalu komunitas yang lebih besar hingga akhirnya kesadaran bangsa akan keberagaman pun meningkat.



Interfaith Youth Forum
Kesadaran dibarengi dengan rasa saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang. Seperti yang sering diucapkan orang – orang sebelum memulai perkenalan. Saling mengenal untuk mengurangi peluang lahirnya prasangka terhadap orang lain.

Interfaith Youth Forum (IYF) atau Forum Anak Muda Antar Keyakinan adalah wadah bagi para generasi penerus bangsa untuk saling mengenal dan menciptakan pemahaman yang lebih baik antar keyakinan. Seperti motto IYF 2012 ‘Better Understanding through Interfaith Dialogue’.

IYF pertama kalinya diadakan di Indonesia, digagas oleh enam mahasiswa lulusan program Study of U.S Institute (SUSI) for Student Leaders on Religious Pluralism Winter Program 2012 di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat.

Peserta IYF tahun ini dibatasi hanya untuk 37 anak muda, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diseleksi melalui formulir juga esai. Peserta IYF 2012 telah berkumpul di Wisma Pertamina di Kenten, Sumatera Selatan pada tanggal 28 September malam untuk perkenalan dan pembukaan forum. Forum dibuka dan dihadiri oleh Meliani Murti E. Ningsih, MA dan Rebecca Mays, PhD dari Dialogue Institute, USA juga Mr. James Poon, dari Global Peace Festival Malaysia.

Materi pembuka forum disampaikan oleh Meliani Murti E. Ningsih, MA, seorang Indonesia yang kini bekerja sebagai dosen di Temple University. Mbak Yeni begitu Meliani akrab disapa peserta IYF, memberi materi awal berupa pengetahuan dan hal – hal mengenai Toleransi dan Pluralisme. Sangat menarik, sehingga banyak sekali pertanyaan dari peserta IYF. Hari pertama forum akhirnya harus rela ditutup dengan kekecewaan banyak peserta yang tidak berkesempatan untuk bertanya.

Hari kedua forum dilanjutkan dengan materi pengenalan dari agama – agama di Indonesia oleh para pemuka agama. Ust. Muhyidin (Islam), Pdt. Lulus Ananto (Protestan), Pastor Blasius baskoto (Khatolik), I Made Gede Armana (Hindu), Grivirya Sulaiman (Buddha). Setiap perwakilan pemuka agama hadir untuk berbagi paham tentang keyakinan mereka. Menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta sekaligus memberi penjelasan terhadap pandangan - pandangan negatif yang masih ada di masyarakat.

Usai makan siang, materi mengenai ‘Religions in US’ disampaikan oleh Gugun Gumilar, seorang muda lulusan SUSI tahun pertama yang membagi pengalamannya selama berada di Amerika Serikat. Setelah Gugun, tibalah giliran Rebecca Mays, PhD untuk memberi materi, menambahkan apa yang telah disampaikan Gugun. Seperti halnya Meliani, Rebecca juga seorang tenaga ahli pengajar di Temple University, hanya saja Rebecca lebih senior, dia telah mendedikasikan hidupnya selama 30 tahun sebagai seorang pengajar.

Diskusi dengan Rebecca menjadi sangat menarik mengingat film Innocence of Muslims masih hangat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia. Pertanyaan seputar film kontroversial itu pun tak dapat dihindari. Rebecca dengan sabar mendengar, mencoba mengerti makna dari setiap pertanyaan yang dilontarkan karena tak jarang pelafalan bahasa mengaburkan pengertian di dalam diskusi dengan Rebecca. Dan James Poon, dari Global Peace Festival Malaysia menutup hari kedua forum dengan memberi materi berupa manfaat Toleransi dan Pluralisme.

Dalam forum, peserta saling memberi waktu untuk berbicara dan mendengar. Sama sekali tidak terjadi ketegangan meskipun pertanyaan yang dilontarkan kerap berupa permintaan konfirmasi atas pernyataan – pernyataan sumbang yang ada di masyarakat. Bahkan saat itu waktu terasa terlalu membatasi peserta untuk bertanya. Jeda istirahat pun dihabiskan untuk berdiskusi dengan para pemateri, bahkan beberapa dari para pemuka agama, tertunda pulang karena harus memuaskan rasa keingintahuan peserta.

Hari terakhir forum diisi dengan kunjungan ke beberapa tempat ibadah yang mewakili setiap agama yang dianut peserta. Pura Penataran Agung Sriwijaya, Pondok Pesantren Ar-Rahman, Vihara Dharma Kirti, Gereja HKBP Yapon dan Gereja Khatolik Santo Yoseph Palembang. Di setiap tempat ibadah, peserta kembali berdiskusi dengan para pemuka agama, dari tempat ibadah yang bersangkutan. Membalas ketidakpuasan peserta akan waktu yang terbatas di hari kedua forum.

Di Pondok Pesantren Ar-Rahman, peserta berkumpul bersama anak – anak pesantren di sana untuk mendengarkan penjelasan dari ustad setempat. Di kesempatan kali ini, Rebecca ditemani Melanie memberi kata sambutan sekaligus meminta ijin untuk kembali ke Amerika.


“Terima kasih atas penerimaannya. Silahkan juga datang ke Amerika.” ucap Rebecca mengakhiri sambutannya.

Rebecca yang berkali – kali memuji nilai keberagaman yang dimiliki Indonesia, hari itu benar – benar dibuat tersentuh dengan perlakuan anak – anak pesantren Ar-Rahman. Dia tak kuasa menitikkan air mata ketika dikerubuni untuk disalam oleh anak – anak pesantren.

3 hari, 37 anak muda, Indonesia versi kecil berkumpul. Dari Aceh sampai Flores. Islam, Protestan, Khatolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Mewakili anak muda yang mau mendengar, berbagi dan membuka pikiran atas keyakinan orang lain. Mengikis perbedaan, menjadikannya alat pemersatu bukan lagi pemicu konflik. Masih ada anak muda tentu masih ada harapan. Percaya!


*ditulis untuk website UKM Parmagz, www.kampusparmad.com tanggal 1 Oktober 2012*

No comments:

Post a Comment