Tuesday, October 23, 2012

Anak Muda Mengikis Perbedaan melalui Forum Antar Keyakinan

Para pendiri bangsa ini sudah lebih dulu menganut paham akan keberagaman. Pancasila sebagai dasar dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan mengawali lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Kita ditakdirkan lahir di bangsa yang dapat menerima dan menghargai perbedaan. Ditakdirkan tumbuh dan dewasa dengan perbedaan itu sendiri. Sehingga perbedaan pun turut andil dalam membangun karakter kita sebagai sebuah bangsa.

Tetapi tidak dapat dipungkiri, keberagaman menjadikan Indonesia sangat rentan dihadapkan dengan potensi konflik yang lahir dari isu Suku, Agama dan Ras (SARA). Keberagaman berkembang seiring peradaban. Perbedaan yang lahir dari keberagaman bertumbuh semakin dewasa tetapi tidak dengan bangsa Indonesia. Sehingga keduanya tidak dapat berjalan beriring dan konflik sebagai akibat dari keberagaman pun tak dapat dihindari.

Konflik yang bersinggungan dengan SARA hanya dapat dihindari jika sudah terdapat kesadaran. Kesadaran bahwa bukan hanya ada ras, etnik, suku dan agama yang sama seperti kita di Indonesia. Kesadaran bahwa setiap orang dijamin kebebasannya oleh negara untuk menjalankan apa yang diyakini. Kesadaran bahwa kebebasan Individual dibatasi oleh kebebasan orang dan komunitas lain. Kesadaran yang dimulai dari pribadi, dibawa ke dalam keluarga lalu komunitas yang lebih besar hingga akhirnya kesadaran bangsa akan keberagaman pun meningkat.



Interfaith Youth Forum
Kesadaran dibarengi dengan rasa saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang. Seperti yang sering diucapkan orang – orang sebelum memulai perkenalan. Saling mengenal untuk mengurangi peluang lahirnya prasangka terhadap orang lain.

Interfaith Youth Forum (IYF) atau Forum Anak Muda Antar Keyakinan adalah wadah bagi para generasi penerus bangsa untuk saling mengenal dan menciptakan pemahaman yang lebih baik antar keyakinan. Seperti motto IYF 2012 ‘Better Understanding through Interfaith Dialogue’.

IYF pertama kalinya diadakan di Indonesia, digagas oleh enam mahasiswa lulusan program Study of U.S Institute (SUSI) for Student Leaders on Religious Pluralism Winter Program 2012 di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat.

Peserta IYF tahun ini dibatasi hanya untuk 37 anak muda, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diseleksi melalui formulir juga esai. Peserta IYF 2012 telah berkumpul di Wisma Pertamina di Kenten, Sumatera Selatan pada tanggal 28 September malam untuk perkenalan dan pembukaan forum. Forum dibuka dan dihadiri oleh Meliani Murti E. Ningsih, MA dan Rebecca Mays, PhD dari Dialogue Institute, USA juga Mr. James Poon, dari Global Peace Festival Malaysia.

Materi pembuka forum disampaikan oleh Meliani Murti E. Ningsih, MA, seorang Indonesia yang kini bekerja sebagai dosen di Temple University. Mbak Yeni begitu Meliani akrab disapa peserta IYF, memberi materi awal berupa pengetahuan dan hal – hal mengenai Toleransi dan Pluralisme. Sangat menarik, sehingga banyak sekali pertanyaan dari peserta IYF. Hari pertama forum akhirnya harus rela ditutup dengan kekecewaan banyak peserta yang tidak berkesempatan untuk bertanya.

Hari kedua forum dilanjutkan dengan materi pengenalan dari agama – agama di Indonesia oleh para pemuka agama. Ust. Muhyidin (Islam), Pdt. Lulus Ananto (Protestan), Pastor Blasius baskoto (Khatolik), I Made Gede Armana (Hindu), Grivirya Sulaiman (Buddha). Setiap perwakilan pemuka agama hadir untuk berbagi paham tentang keyakinan mereka. Menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta sekaligus memberi penjelasan terhadap pandangan - pandangan negatif yang masih ada di masyarakat.

Usai makan siang, materi mengenai ‘Religions in US’ disampaikan oleh Gugun Gumilar, seorang muda lulusan SUSI tahun pertama yang membagi pengalamannya selama berada di Amerika Serikat. Setelah Gugun, tibalah giliran Rebecca Mays, PhD untuk memberi materi, menambahkan apa yang telah disampaikan Gugun. Seperti halnya Meliani, Rebecca juga seorang tenaga ahli pengajar di Temple University, hanya saja Rebecca lebih senior, dia telah mendedikasikan hidupnya selama 30 tahun sebagai seorang pengajar.

Diskusi dengan Rebecca menjadi sangat menarik mengingat film Innocence of Muslims masih hangat menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia. Pertanyaan seputar film kontroversial itu pun tak dapat dihindari. Rebecca dengan sabar mendengar, mencoba mengerti makna dari setiap pertanyaan yang dilontarkan karena tak jarang pelafalan bahasa mengaburkan pengertian di dalam diskusi dengan Rebecca. Dan James Poon, dari Global Peace Festival Malaysia menutup hari kedua forum dengan memberi materi berupa manfaat Toleransi dan Pluralisme.

Dalam forum, peserta saling memberi waktu untuk berbicara dan mendengar. Sama sekali tidak terjadi ketegangan meskipun pertanyaan yang dilontarkan kerap berupa permintaan konfirmasi atas pernyataan – pernyataan sumbang yang ada di masyarakat. Bahkan saat itu waktu terasa terlalu membatasi peserta untuk bertanya. Jeda istirahat pun dihabiskan untuk berdiskusi dengan para pemateri, bahkan beberapa dari para pemuka agama, tertunda pulang karena harus memuaskan rasa keingintahuan peserta.

Hari terakhir forum diisi dengan kunjungan ke beberapa tempat ibadah yang mewakili setiap agama yang dianut peserta. Pura Penataran Agung Sriwijaya, Pondok Pesantren Ar-Rahman, Vihara Dharma Kirti, Gereja HKBP Yapon dan Gereja Khatolik Santo Yoseph Palembang. Di setiap tempat ibadah, peserta kembali berdiskusi dengan para pemuka agama, dari tempat ibadah yang bersangkutan. Membalas ketidakpuasan peserta akan waktu yang terbatas di hari kedua forum.

Di Pondok Pesantren Ar-Rahman, peserta berkumpul bersama anak – anak pesantren di sana untuk mendengarkan penjelasan dari ustad setempat. Di kesempatan kali ini, Rebecca ditemani Melanie memberi kata sambutan sekaligus meminta ijin untuk kembali ke Amerika.


“Terima kasih atas penerimaannya. Silahkan juga datang ke Amerika.” ucap Rebecca mengakhiri sambutannya.

Rebecca yang berkali – kali memuji nilai keberagaman yang dimiliki Indonesia, hari itu benar – benar dibuat tersentuh dengan perlakuan anak – anak pesantren Ar-Rahman. Dia tak kuasa menitikkan air mata ketika dikerubuni untuk disalam oleh anak – anak pesantren.

3 hari, 37 anak muda, Indonesia versi kecil berkumpul. Dari Aceh sampai Flores. Islam, Protestan, Khatolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Mewakili anak muda yang mau mendengar, berbagi dan membuka pikiran atas keyakinan orang lain. Mengikis perbedaan, menjadikannya alat pemersatu bukan lagi pemicu konflik. Masih ada anak muda tentu masih ada harapan. Percaya!


*ditulis untuk website UKM Parmagz, www.kampusparmad.com tanggal 1 Oktober 2012*

Tolak Mahasiswa sebagai Tim Sukses Kampanye Politik

Jakarta masih harus menunggu hasil perhitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penetapan yang sah atas Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih periode 2012 - 2017. Perbedaan suara yang tidak terpaut jauh antar kedua pasangan calon gubernur dan wakil menjadikan masing - masing pendukung masih harus harap - harap cemas. Apalagi pasangan calon gubernur yang untuk sementara berada pada posisi kedua sebagai hasil penghitungan cepat yang diadakan beberapa media nasional.
Pemilihan kepala daerah dengan sistem demokrasi diawali dengan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek langsung kepada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu atau yang biasa disebut dengan Kampanye (Roger dan Storey, 1987).

Bentuk kampanye politik kini kian beragam seiring dengan berkembangnya media komunikasi. Lahir dan berkembangnya media baru, internet menjadikan setiap orang dapat langsung menyuarakan pendapatnya dan orang lain yang melihat juga dengan segera dapat menimpali dengan dukungan atau penolakan. Itulah yang terjadi kini di seluruh belahan dunia, kampanye politik berkembang menciptakan bentuk barunya yakni virtual.

Mahasiswa, calon sarjana, diklaim lebih berpengetahuan sehingga menjadi target empuk untuk menjalankan kampanye politik dalam media baru, internet. Segala bentuk jejaring sosial sangat dekat dengan anak muda dan mahasiswa termasuk di dalamnya. Tindakan segelintir mahasiswa untuk memilih ikut bergabung dalam tim sukses salah satu pasangan calon gubernur, dengan alasan apapun seharusnya tidak dapat diterima. Tidak untuk alasan belajar berpolitik. Apalagi alasan suka dengan pasangan calon gubernur terkait.
Belajar bukan berarti ikut mengagung - agungkan salah satu pasangan calon gubernur. Mahasiswa menerima terpaan kampanye adalah untuk menilai secara kritis isi kampanye dan bagaimana proses kampanye itu direncanakan, dilaksanakan dan diakhiri. Suara mahasiswa pun dapat menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam memilih.

Karena itu, seharusnya mahasiswa bukanlah individu - individu yang justru terlibat dalam kampanye politik. Mahasiswa adalah calon - calon pemimpin yang terdekat dengan masyarakat yang siap terjun langsung memperjuangkan kepentingan rakyat, yang dengan sigap dapat menolak kebijakan pemerintah atau kepentingan politik tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tindakan mendukung salah satu pasangan calon gubernur membiaskan posisi mahasiswa yang bebas dari segala macam bentuk kepentingan politik.

Seperti halnya dua sisi mata uang. Tindakan tersebut tidak sepenuhnya ditolak oleh mahasiswa yang lain. "Mahasiswa menjadi tim sukses merupakan hal yang biasa, sah - sah saja karena itu adalah hak untuk berpolitik dan menyatakan pendapat." ucap Sekretaris Jendral Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina (SEMA).

Mungkin tidak semua mahasiswa tahu dan memahami posisi sebagai individu - individu yang netral dari segala bentuk kepentingan. Pers Mahasiswa Universitas Paramadina (PARMAGZ) MENOLAK segala bentuk dukungan terhadap salah satu pasangan calon gubernur yang dilakukan oleh mahasiswa khususnya Universitas Paramadina. Masih jadi mahasiswa aja kok udah gak independen? Gimana mau jadi pemimpin untuk rakyat, kelak?

*Liputan Khusus di Buletin Pertama Parmagz ditulis tanggal 21 September 2012*

Hello Parmad!

How time flies! Tak terasa 3 bulan lebih waktu liburan semester genap telah berlalu, meninggalkan rutinitas kampus untuk berlibur, bekerja/magang atau sekedar berleha - leha di kampung halaman. Kini kita kembali memasuki awal baru semester gasal, untuk kesekian kalinya bagi sebagian besar mahasiswa atau yang pertama kali bagi mahasiswa angkatan pertama. Wajah – wajah baru yang sekarang turut menghiasi euphoria kampus.

Tidak terlihat perbedaan signifikan antara mahasiswa baru dengan para senior kecuali antusiasme mereka. Liburan yang panjang kerap mengikis semangat untuk kembali menjalankan rutinitas di kampus. Apalagi ketika baru saja memulai jadwal baru perkuliahan berbagai tugas sudah menanti tuk segera dituntaskan. Bertemu dengan teman - teman, saling berbagi cerita dan pengalaman baru selama menghabiskan liburan mungkin bagian yang paling menarik untuk kembali menginjakkan kaki di kampus. Seperti halnya teman - teman, Parmagz juga ingin berbagi cerita yang didapat oleh para indera di awal perkuliahan semester ini.

INDEPENDEN! Tema yang diangkat untuk menjadi inti dari setiap tulisan yang dimuat kali ini. Independen dimaknai; bebas, mandiri tetapi tetap kritis. Bagaimana Tta Paramadina tetap dapat melanjutkan misi untuk mengikuti festival tari di Eropa dengan minimnya dukungan kampus? Bagaimana posisi mahasiswa di masyarakat khususnya dalam menyingkapi kampanye politik? Bagaimana tingkat kepopuleran SEMA? Dan kegiatan Parmagz mengembangkan program kerja baru secara independen.

Mengutip kalimat yang sering dilontarkan oleh Pak Rektor, Anies Baswedan. “Masa depan bangsa ini ada di tangan kita, para generasi muda.” Mahasiswa berada dalam posisi yang bebas dari segala bentuk kepentingan dan intervensi kekuasaan. Sehingga seharusnya suara mahasiswa adalah bentuk aspirasi kritis mewakili masyarakat yang mendukung kepentingan banyak orang.

Birokrasi dalam hal pengajuan dana yang rumit misalnya bukan menjadi kendala untuk tetap berkarya. Bahkan ini dapat memicu semangat untuk lebih kreatif berpikir dalam mewujudkan target. Karena bagaimana pun kerikil yang menjadi penghalang untuk setiap usaha pada akhirnya berkontribusi menciptakan sebuah pengalaman luar biasa.

Last but not least! Selamat datang mahasiswa baru Universitas Paramadina! Individu – individu yang kelak menjadi partner bahkan rival baru dalam berkarya. Selamat berjuang menjadi mahasiswa seutuhnya. Independen. Kritis. Serta berkontribusi bagi masyarakat.

Selamat membaca.
Salam,
Redaksi


*Tulisan Pertama untuk Buletin Pertama Parmagz, 1 Oktober 2012*

POLEMIK PEMBATALAN KONSER LADY GAGA MENCIDERAI NILAI DEMOKRASI PANCASILA

Tahun 2012 seolah menjadi awal baru bagi keberadaan Indonesia sebagai negara tujuan konser musisi dunia. Setelah konser musik penyanyi asal Amerika, Katy Perry sukses digelar. Sampai pertengahan tahun ini setidaknya ada 5 musisi legendaris dunia yang mengadakan konser di Jakarta, mulai dari Rod Steward, Roxette, Earth Wind and Fire, YES, sampai penyanyi pop legendaris besutan grup musik asal Inggris, Morrissey. Tak ketinggalan ikon baru musik pop dunia, Lady Gaga yang berminat menyelenggarakan konser di Jakarta meskipun berujung pada pembatalan.

Diterimanya musisi mancanegara untuk mengadakan konser di Indonesia merupakan bukti bahwa negara menghargai perbedaan dan kebebasan berekspresi setiap orang sebagai bentuk kreatifitas dalam bermusik.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan ras merupakan negara yang kaya akan budaya sehingga menghasilkan berbagai macam pemikiran serta kelompok kepentingan. Lady Gaga penyanyi asal Amerika yang terkenal dengan gaya esentriknya memiliki tidak sedikit penggemar di Indonesia. Seminggu sebelum akhirnya konser dibatalkan, 50.000 tiket telah habis terjual. Setiap orang bebas memilih untuk menikmati jenis musik apapun yang disuka.

Kebebasan berekspresi dan beragam pemikiran adalah wujud demokrasi bernegara. Nilai demokrasi terdapat dalam pengamalan pancasila khususnya sila ke-empat yang menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat adalah hasil mufakat perwakilan rakyat. Demokrasi berlandaskan toleransi dan mengedepankan keadilan serta persatuan bangsa.

Pancasila sebagai dasar negara lahir dari hasil perumusan cita – cita para founding fathers dalam mewujudkan keberadaan negara sebagai tempat yang dapat menjamin kebebasan serta kepentingan setiap warga bukan hanya kepentingan beberapa kelompok masyarakat.

Penolakan terhadap Lady Gaga oleh sebagian masyarakat Indonesia, diwakili oleh beberapa kelompok kepentingan bukti bahwa negara menjamin kebebasan berpendapat untuk setiap orang. Kelompok – kelompok kepentingan tersebut juga dijamin keamanannya oleh negara. Tetapi dalih demokrasi, negara seolah melindungi kepentingan kelompok ini tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lain. Kelompok yang mengaku berlandaskan suatu agama dan membela kepentingan umat beragama ini melakukan aksi penolakan dengan mengancam melakukan pemblokadean mulai dari Bandar Udara sampai pada tempat konser berlangsung. Salah satu bukti sikap yang kerap menciderai nilai demokrasi pancasila.

Lady Gaga tidak serta merta dapat merusak moral bangsa dengan hanya melakukan konser di Jakarta. Peminat konser bukan mewakili setiap kelompok masyarakat. Kreatifitas Lady Gaga dalam performa panggung maupun lirik lagunya dapat diakses melalui internet. Kebebasan berekspresi Lady Gaga yang dianggap dapat merusak moral bangsa lebih baik ditindak dengan menolak segala informasi mengenai penyanyi asal Amerika tersebut. Sehingga tidak menimbulkan polemik akibat persepsi buruk dan prasangka terhadap pemerintah, khususnya aparat keamanan negara.

Demokrasi tidak berarti bebas memaksakan pendapat ataupun pemikiran pribadi dan kelompok terhadap orang lain. Demokrasi pancasila adalah kebebasan yang bertoleransi untuk mencapai kata sepakat sebagai wujud pemenuhan kepentingan bersama. Semoga Pancasila dapat benar – benar diterapkan sebagai landasan bernegara sehingga cita – cita para founding fathers terwujud. Masih banyak waktu, pasti masih ada harapan.

*rampung ditulis tanggal 1 Juni 2012*

Lakon Maryam Menggugah Nilai dan Rasa Kemanusiaan

Setelah sukses melakukan peluncuran novelnya yang ketiga, Maryam di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki bulan lalu, Senin, 1 Mei 2012 Okky Madasari bekerjasama dengan Kafha, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Paramadina yang fokus pada persoalan kemanusiaan dan kebudayaan, berhasil mewujudkan novel Maryam ke dalam bentuk teater.

Teater kecil bertajuk Lakon Maryam ini diselenggarakan selama 2 hari berturut – turut di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, 1 dan 2 Mei 2012 pukul 07.30 – 10.00 malam. Lakon Maryam adalah satu dari serangkaian acara memperingati hari jadi Kafha yang ke-7.

Mendekati pukul 7 malam, suasana di luar auditorium yang semula hening menjadi riuh dengan gerombolan penonton. Sebagian besar menunggu sambil melihat – lihat sekeliling selasar budaya, mengambil gambar, dan tidak sedikit yang mengantri untuk membeli tiket on the spot. Tiket dijual dengan harga Rp. 15.000 untuk mahasiswa dan Rp. 30.000 untuk umum. Di hari perdana pagelarannya, Lakon Maryam disaksikan oleh lebih dari 100 orang penonton.

Lakon Maryam dalam pagelarannya mendapat dukungan penuh dari Universitas Paramadina, turut hadir dalam pegelaran Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, Deputy Rektor Bid. Akademik, Riset dan Kemahasiswaan dan beberapa orang dosen.

Pagelaran 
Dalam kata sambutannya membuka Lakon Maryam, Anies mengingatkan para hadirin akan keberagaman bangsa Indonesia, mengajak untuk tidak menilai individu berdasarkan sub budaya atau agamanya tetapi saudara sebangsa, setanah air.

Auditorium Nurcholish Madjid berhasil disulap menjadi ruang pertunjukan teater yang menarik. Terdapat rumah – rumah rekaan, tempat tinggal keluarga Maryam hasil tangan – tangan kreatif anggota teater Kafha, menyerupai rumah – rumah yang ada di Gerupuk dan pengungsian di Transito, seperti yang terlihat pada foto – foto hasil jepretan Okky Madasari yang dipajang di luar auditorium.

Kafha menawarkan atmosfer yang berbeda dalam menikmati sebuah pagelaran teater. Tempat duduk diatur dalam lesehan, hanya sebagian kecil yang duduk  di kursi, di bagian belakang ruangan untuk para tamu VIP seperti Rektorat kampus, perwakilan Serikat, Himpunan dan Unit Kegiatan Mahasiswa, juga untuk tamu seperti dosen dan orang tua. Penonton diajak menikmati Lakon Maryam dengan suasana yang teduh, tenang dan santai.

Lakon Maryam dimulai dengan kisah cinta Maryam dengan Gamal, lelaki yang seiman dengannya, Ahmadiyah. Kisah cinta miris yang berujung pada perpisahan yang tak terduga. Gamal mengingkari keyakinannya pergi meninggalkan keluarganya dan Maryam.

Penonton turut hanyut dalam kebahagiaan Maryam ketika masih bersama Gamal. Penonton ikut bersedih ketika melihat ketidakberdayaan orang tua Gamal dan patah hati Maryam. Bahkan ada penonton yang berlinang air mata menyaksikan kekecewaan terbesar orang tua Gamal. Baru 15 menit berlangsung, Lakon Maryam sudah berhasil membius setiap orang yang berada di dalam ruang auditorium.

Novel dan Lakon Maryam tidak sekedar mengisahkan kehidupan dan percintaan Maryam sebagai seorang Ahmadiyah. Maryam dan keluarganya diangkat menjadi sosok - sosok yang mewakili kaum minoritas di negeri ini, yang sering terabaikan keberadaannya, yang tidak menyerah pada keadaan dan yang tidak pernah lelah memperjuangkan hak – haknya.

Orang tua Maryam yang terpaksa meminta anaknya hanya berteman dekat dengan orang – orang yang juga Ahmadi, menyiratkan kekhawatiran mendalam tentang masa depan dan kebahagiaan Maryam. Kekhawatiran yang akhirnya menimbulkan konflik antara Maryam dan orang tuanya yang juga menjadi awal perselisihan Maryam dan Alam, suaminya saat itu.

Perceraian Maryam dengan Alam. Kehidupan baru Maryam bersama Umar. Sampai pada insiden pengusiran keluarga Maryam bersama orang – orang Ahmadi di Desa Gegerung menjadi akhir pementasan teater yang sangat menyentuh. Para pelakon dalam teater Maryam berhasil membawakan setiap perasaan dari tokoh yang mereka perankan ke dalam visualisasi gerak dan mimik wajah dengan sangat apik. Intonasi suara dan musik yang pas. Sorotan lampu yang tepat menguatkan rasa pada setiap dialog yang mereka sampaikan. Penonton dibawa semakin larut dalam keadaan, seolah – olah sedang menyaksikan kehidupan Maryam yang sebenarnya, di depan mata.

Lantunan lirik lagu Cinta - Iwan Fals mengiringi setiap jeritan hati Maryam, dinyanyikan oleh seluruh pemeran teater. Lakon Maryam menuju klimaks pertunjukannya, mentransfer seluruh perasaan kecewa, sedih, dan marah orang – orang Ahmadi yang terusir karena iman mereka. Penonton terpaku melihat gambaran penderitaan dan duka yang dialami kaum minoritas tersebut. Sebuah penutup yang mencengangkan. Tepukan gemuruh menutup pagelaran Lakon Maryam.

“Karya mereka bagus banget. Saya sangat menikmatinya. Ketika novel ini hadir dalam bentuk teater, semoga lebih banyak orang yang tergerak hatinya pada nilai – nilai kemanusiaan, lebih bertoleransi pada mereka yang berbeda.” ucap Okky Madasari yang juga duduk di antara para penonton menikmati pagelaran Lakon Maryam.

Orang bicara cinta, atas nama Tuhannya. Sambil menyiksa, membunuh berdasarkan keyakinan mereka. Semoga tidak ada orang yang benar – benar bertindak seperti lirik pada lagu berjudul Cinta tersebut. Semoga tidak lagi ada korban seperti rekaan tokoh yang diangkat oleh novel Maryam. Semoga masih ada harapan.


*muncul di www.kampusparmad.com sejak tanggal 3 Mei 2012 juga diterbitkan di Kompas Kampus tanggal 15 Mei 2012*

Siaran Pers GreenACT Universitas Paramadina


Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Paramadina 
Jln. Jendral Gatot Soebroto Kav. 97 Mampang, Jakarta Selatan 12790
Telp: 021 – 79181188
                                                                                                                      
                                                                                                                          Rabu, 9 Mei 2012
Siaran Pers   
GreenACT Universitas Paramadina

Jakarta, 9 Mei 2012 – Mahasiswa peminatan Hubungan Masyarakat (Humas) Universitas Paramadina berhasil menggelar GreenACT Workshop di Auditorium Nurcholish Madjid. Workshop yang mengambil tema tentang Environment Entrepreneurship ini berlangsung selama kurang lebih 2 jam di Auditorium Nurcholish Madjid dimulai dari pukul 10 pagi sampai 12 siang. GreenACT Paramadina; Gaya Hidupku, Gaya Hidup Hijau. Begitu workshop ini mengusung judul dan slogan. 
GreenACT Workshop adalah wadah bagi mahasiswa Paramadina peminatan Hubungan Masyarkat Fakultas Ilmu Komunikasi untuk memiliki pengalaman langsung dalam proses merancang, melaksanakan dan mengevaluasi Communication Plan Program. Workshop ini tidak hanya melibatkan mahasiswa Universitas Paramadina tetapi juga pelajar Sekolah Lanjutan Atas. 
Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Paramadina, Wahyutama, Msi menyampaikan apresiasi dalam sambutannya “Sumber Daya Manusia terus bertambah tetapi Sumber Daya Alam kian berkurang. Kegiatan seperti ini sangat baik untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian anak muda terhadap lingkungan. Tema yang diusung kali ini tidak ada kaitannya dengan ilmu komunikasi, merupakan tantangan dan bagus sekali dapat berjalan dengan baik. ”
Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami, Kumala Jakarta diundang sebagai narasumber. Yayasan yang bergerak di bidang kreatif ini menggunakan bahan – bahan daur ulang seperti kertas bekas dan pelepah pisang sebagai bahan baku dalam menciptakan karya seperti bingkai foto, album, lukisan sampai miniatur yang menarik. Dindin Komarudin, Ketua Yayasan Kumala tidak hanya datang sebagai pemateri workshop tetapi turut membawa karya dari anggota Yayasan Kumala. Ketika workshop berlangsung 2 orang anggota Kumala ikut berbagi pengalaman mereka ketika masih hidup di jalanan sampai berkreasi di yayasan bersama anak – anak jalanan yang lain.
Narasumber kedua yang diundang adalah Dadang Sudharja, Ketua Dewan Komite Nasional LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Tidak hanya datang sebagai pemateri, Walhi juga membuka stand di depan Auditorium Nurcholish Madjid untuk berbagi informasi tentang kegiatan dan kampanye menjaga lingkungan. Dadang mewakili Walhi menyatakan dalam materinya sangat mendukung seluruh program komunikasi peduli lingkungan. “Indonesia diciptakan Tuhan saat tersenyum, melimpah dengan sumber daya alam. Indonesia butuh pemuda! Dengan semangat dan integritas untuk membangun bangsa termasuk menjaga kelestarian lingkungan.” 
Narasumber yang lain datang dari mahasiswa, Yogi Maringgi, aktivis Rumah Angklung. Komunitas Pecinta Angklung diwakili Yogi berbagi cerita tentang kegiatan mereka melestarikan alat musik tradisional tersebut. Belajar membuat angklung, memainkannya sampai pada penampilan mereka di berbagai tempat. Gaya anak muda untuk turut melestarikan budaya. Karena GreenACT bukan sekedar mengenai tindakan menjaga lingkungan tetapi gaya hidup hijau anak muda seperti Rumah Angklung. 
Hadir juga Sahuri Mulia Hakim mewakili komunitas pecinta lingkungan kampus Paramadina, Khatulistiwa sebagai narasumber. Berbagi pengalaman tentang kegiatan dan program yang dilaksanakan Khatuliswa dalam menjaga lingkungan serta kemudahan dan kesulitan dalam mengembangkan komunitas ini. 
Kegiatan ini dimeriahkan oleh penampilan Acoustics Duo Roedy Morgan yang membawakan lagu hits Emerald Band dalam bentuk akustik. Juga penampilan dari Yeni Susanti, mahasiswa Jurusan Psikologi dan Reza, salah satu panitia GreenACT yang disambut meriah oleh mahasiswa.
“GreenACT bukan lagi sekedar membuang sampah atau menanam pohon. Tetapi gaya anak muda yang berimplikasi baik terhadap orang dan lingkungan sekitarnya. Harapannya GreenACT dapat menularkan semangat environment entrepreneurship kepada anak muda, jadi bukan sekedar workshop.” ucap Wesley Federick Sinaga menyampaikan harapan mewakili seluruh panitia GreenACT Paramadina.

***
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Humas Stratejik Universitas Paramadina

Winner Fransisca Manik
Email; winner.fm@gmail.com
PR Writing GreenACT Paramadina

*Acara ini berhasil dimuat di tribunnews.com (http://digital.jakarta.tribunnews.com/edition/2012/05/09/petang) dan kabarkampus.com (http://kabarkampus.com/2012/05/gaya-hidupku-gaya-hidup-hijau/)

Hidup Tanpa Rokok Dimulai dari DIRI SENDIRI



Sekarang, kemana pun kita pergi, dimana pun kita berada, kita pasti berhadapan dengan seseorang atau sekelompok orang dengan gumpalan asap yang berasal dari lintingan tembakau yang mereka. Di sekitar kita, di kampus, di halte, di warung, pusat perbelanjaan, bahkan hotel mewah sekali pun menyediakan ruang khusus merokok. Ruang tersebut dibuat untuk membatasi atau mengontrol perokok aktif agar aktifitas mereka tidak mengganggu kenyaman orang lain yang tidak merokok. 

Tetapi menurut saya, keadaan tersebut seolah memberitahu kita bahwa rokok sudah menjadi konsumsi pokok bagi sebagian besar orang di ibukota ini. Jadi, membuat ruang khusus untuk merokok bukan cara yang terbaik untuk mengurangi aktifitas merokok, tapi malah mempermudah akses merokok untuk setiap orang bukan hanya perokok aktif. 

“Jika anda ingin merokok, silahkan ke ruang khusus yang telah kami sediakan.”  Kira – kira seperti itu lah makna non verbal yang disampaikan pengelola ruang publik yang bersangkutan.
Jadi, tidak hanya perokok aktif yang leluasa untuk melanjutkan kebiasaan mereka tersebut. Orang yang tidak terbiasa merokok pun, seperti murid – murid sekolah menengah atau mahasiswa juga ibu – ibu arisan jika ingin merokok atau mencoba, disediakan ruang khusus. 

Hal – hal seperti itulah yang memicu tingkat perokok aktif di negeri ini kawan!!! 

Tahu kan warung kopi yang biasa jadi tempat nongkrong kaum urban di mall – mall besar? Ya, warung kopi yang terkenal bukan hanya karena cita rasanya tetapi juga karena harganya yang hits, sejenis Starbucks atau Coffee Bean juga menyediakan ruang terbuka bagi para pelanggannya yang mau ngopi sambil merokok. 

Faktanya jelas terlihat, bahkan langsung di tempat! Mereka yang berseragam sekolah, mahasiswa, dan ibu – ibu arisan yang tengah berkumpul tak jarang terlihat memilih duduk di ruang terbuka tersebut untuk melakukan aktifitas mereka sambil ngopi dan menikmati tembakau yang mereka kepit dengan jari manis dan tengah.

Ini Indonesia! Kita tidak menganut budaya mengisap tembakau seperti itu, apalagi oleh pelajar dan ibu rumah tangga. Di sebagian daerah bahkan merokok masih dianggap sebagai kegiatan tabu. Karena dulu yang mengisap tembakau adalah orang tua atau jompo dan kebanyakan lelaki. 

Sekarang, merokok seperti bagian dari gaya hidup kaum urban di Indonesia. Produksi rokok semakin meningkat, sehingga produk rokok pun semakin beragam, seolah setiap jenisnya menggambarkan  kelas – kelas tertentu. 

Sekali lagi, merokok bukan budaya. Kebiasaan buruk ini diciptakan atau dibentuk oleh para produsen dan marketing perusahaan – perusahaan rokok juga pemerintah. Mengapa? Karena pemerintah gagal mengontrol produksi dan distribusi rokok di Indonesia. Peraturan mengenai rokok itu sendiri tidak cukup mengikat produsen, distributor dan konsumennya. Perusahaan rokok seolah bebas menebarkan iklan dimana saja, mensponsori berbagai acara, termasuk kesehatan dan pendidikan yang jelas memiliki esensi berbeda dengan rokok. Mungkin karena kontribusi pajak mereka yang besar dan sebagainya, yang jelas pemerintah kurang tegas dalam hal ini.

Jadi, merokok sepenuhnya menjadi pilihan kita, kita ingin merokok dikarenakan kemauan dan kesadaran kita. Informasi akan bahaya mengkonsumsi rokok jelas terpampang di setiap iklan dan bungkusnya. Tergantung kita, ingin mengabaikan peringatan tersebut atau malah tidak ambil pusing dan sebagainya, yang jelas kita juga sadar kalau kebiasaan tersebut berdampak buruk.

Produksi dan distribusi rokok jelas tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Perusahaan – perusahaan rokok akan terus memproduksi dan mendistribusi rokok dengan gencar jika kita tidak bisa menahan dan membatasi diri untuk merokok. Pemerintah tentu tidak bisa diandalkan dalam hal ini. Ayo perangi rokok mulai dari DIRI SENDIRI! Hidup sehat tanpa hisapan dan asap rokok! \m/

Menjaga Kebersihan Laut Kep. Seribu Dimulai dari Diri Sendiri



Para Atlet sedang Beraksi

Pesta Olahraga se-Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dengan Sea Games telah berakhir. Tahun ini Indonesia mendapat giliran untuk menjadi tuan rumah penyelenggara Sea Games ke-26. Jakarta dan Palembang menjadi tempat diselenggarakannya ajang berkumpulnya 48 cabang olahraga ini.

Sea Games berakhir dengan iringan senyum kemenangan Indonesia. Tugas menjadi volunteer pun turut berakhir. Saya adalah salah satu volunteer  yang mendapat mandat untuk bertugas di Media Press Center (MPC) Sea Games Jakarta. MPC adalah pusat informasi dan layanan bagi seluruh media lokal dan asing yang terdaftar meliput Sea Games. 

MPC menyediakan seluruh kebutuhan awak media mulai dari hal terkecil seperti media kit hingga layanan transportasi bagi rekan – rekan media yang ingin meliput di venue olahraga yang dipertandingkan setiap harinya. 
Nah, layanan ini memberi kesempatan bagi para volunteer yang bekerja di MPC untuk berkunjung ke venue – venue Sea Games yang ada di Jakarta. Sebenarnya tidak hanya volunteer MPC yang bisa berkunjung ke venue, tetapi semua volunteer. Hanya saja kami pergi bersama perwakilan media dari seluruh negara di Asia Tenggara. Sehingga setiap kunjungan ke venue bukan sekedar jalan – jalan tetapi juga belajar meliput dan menyiarkan berita versi dari masing – masing negara. Kesempatan untuk meliput berita bersama media asing pun sayang untuk dilewatkan oleh para volunteer, termasuk saya.

Dari sekian banyak venue, saya beruntung mendapatkan giliran berkunjung ke salah satu tempat terbaik. Beruntungnya saya! Rombongan pagi itu mengunjungi Pulau Putri, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, tempat berlangsungnya kompetisi olahraga renang di laut bebas atau open water swimming. Apa yang saya lihat dan temukan di sana? Check this out guys!!!

Biru
 
Laut

Angin segar

Hangat matahari

Botani dan Hewani Laut


Juga SAMPAH!




Benda – benda putih yang mengapung di atas lautan itu menarik perhatian saya, semula saya berpikir  mereka adalah kumpulan ikan – ikan kecil. Saya sempat terpukau mungkin karena begitu lamanya saya tidak berkunjung ke alam bebas. 

Ya! Itu bukan ikan atau hewan laut sejenisnya. Itu sampah! Salah besar jika sempat terbesit di pikiran kita, sampah sekecil itu tidak akan merusak laut seluas Kepulauan Seribu. Plastik bahkan tidak terurai selama 500 tahun! Plastik yang semula hanya ada di permukaan air dapat terbawa sampai jauh ke tempat botani dan hewani laut berkembang. Sangat mungkin terjadi, mengingat 500 tahun bukan waktu yang singkat.

Waktu saya mengambil gambar sampah – sampah di atas, saya bahkan masih berada jauh sekali dari Pulau Putri. Sampah tersebut berada persis di tengah – tengah laut. Kalau bukan pengunjung Kepulauan Seribu yang membuangnya lantas siapa lagi? 

Setelah saya telusuri, ternyata kapal yang saya tumpangi tidak menyediakan tempah sampah. Oh NO! Kesadaran akan kebersihan laut harus dimulai dari kita sendiri! Tidak heran jika terdapat banyak sampah di lubang – lubang penyangga gelas di atas kapal, karena memang tidak terdapat tempat lain untuk menampung bungkus –bungkus makanan dan minuman pengguna jasa kapal. Bahkan tas saya hampir dipenuhi botol – botol minuman kosong. Tentu tindakan itu lebih baik daripada harus membuangnya di laut lepas. 

Kepedulian itu tidak sekedar membutuhkan pengetahuan dan kesadaran tapi lebih kepada tindakan. Setiap orang tentu tahu bahwa tidak ada sampah yang baik untuk laut. Semua orang pasti sadar, tindakan tersebut berdampak buruk terhadap  ekosistem laut. 

Akan tetapi sekedar tahu dan sadar sekali lagi TIDAK CUKUP! Kita harus bertindak, mulai dari diri kita sendiri. Jangan membuang sampah di laut. Tegur dan ingatkan mereka yang mungkin akan merusak laut, bukan hanya pengunjung tetapi juga para pengelola jasa di sekitar laut tersebut. Dalam cerita saya ini, termasuk para pengemudi kapal, pengelola Pulau Putri dan penanggung jawab kompetisi OWS Sea Games. 

Keindahan Pulau Putri yang nyaris sempurna, dirusak oleh sedikit cela yang berasal dari sampah – sampah kecil yang menghiasi lautnya. Ayo teman, jaga kebersihan laut kita mulai dari sekarang. Jika berlibur ke laut atau pantai pastikan kita juga menjaga kelestariannya, agar pemandangan yang disuguhkan senantiasa indah.


 Sampah di sekitar arena venue Open Water Swimming Sea Games 2011.
What a sad view!